Disrupsi Media

9
Elva Ronaning Roem Dosen Ilmu Komunikasi Unand

MIRIS memang. Media kini, kian terdisrupsi. Ini dirasakan benar oleh media (cetak dan elektronik) lokal, khususnya. Seperti yang dilontarkan kolega saya, seorang wartawan, petang kemarin. “Kini, media sudah susah. Tak semanis dahulu.”

Betapa tidak, publik figur, tokoh pejabat, instansi pemerintah ataupun swasta, kini sudah punya tim media sendiri. Baik itu website, Instagram, Youtube dan Facebook. Apapun kegiatan mereka, termasuk iklan mereka, sudah include di sana. Terintegrasi malah.

Biayanya pun jauh lebih murah, lebih efektif. Tidak semahal biaya iklan di media cetak, televisi, dan radio yang jumlahnya bisa mencapai angka jutaan sekali terbit atau tayang.
Soal konten, terbit atau tayangnya pun lebih cepat. Dalam hitungan menit.

Tidak perlu menunggu terbit hingga esok hari jika di media cetak. Isinya pun lebih sesuai keinginan. Baik itu berita, gambar, ataupun video. Karena itu tak heran kini sejumlah media cetak sudah mulai banyak mengurangi halamannya.

Pemasukan iklan sudah mulai berkurang. Tak sebanding lagi untuk ongkos produksi; harga kertas dan ongkos cetak. Realita ini, juga membuat saya khawatir sebagai akademisi, yang mengajar mata kuliah jurnalistik.

Mahasiswa kini sudah tidak interest lagi, selepas tamat untuk bekerja di media yang kini sudah memasuki senjakala. Mereka kini, malah bersemangat mendalami Ilmu Komunikasi untuk wirausaha; pembuatan konten media digital. Bagaimana membuat sistem dan konten untuk membangun website, channel Youtube, dan Instagram.

Begitu benarlah dampak teknologi yang dirasakan saat ini. Setiap orang kini, bisa menjadi wartawan. Ada kejadian, mereka bisa ambil swafoto dan video sendiri. Anak mahasiswa saja sendiri kini sudah banyak memiliki Iphone yang kualitas foto dan videonya, memiliki pixel gambar yang sangat jernih, memanjakan mata.

Dalam hitungan detik pun, foto dan video itu sudah bisa langsung di-share. Begitupun dengan berita. Kecendrungan orang saat ini tak butuh juga berita yang mendalam. Yang penting informasi itu cepat sampai. Betapa beratnya saingan wartawan media dengan netizen saat ini.

Demikian juga, urusan iklan. Saat ini, teknologi artificial intelligence (AI) sudah banyak yang mengakomodir untuk desain gratis. Tempelate sudah disediakan. Tinggal mengaturnya saja lagi. Dalam hitungan menit pun, tempelate iklan tersebut, sudah bisa wara wiri di sejumlah media sosial.

Begitupula halnya dengan promosi kegiatan. Para tokoh, pejabat publik, instansi pemerintah atau swasta, sudah marak dengan podcast yang di-upload di channel Youtube pribadi mereka. Penggalan konten itu juga bisa di-share di Facebook, IG, dan Tiktok.

Dalam hati, saya bergumam; apakah hal ini yang menyebabkan para tokoh ataupun pejabat publik cuek dengan wartawan saat ini? Apapun alasannya, saya tetap percaya; pers itu adalah pilar keempat demokrasi di negeri ini.

Peran pers masih diperlukan untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah. Peran pers masih diperlukan untuk menyambung lidah rakyat. Saya menilai, saat ini kekuatan pers itu ada di masyarakat. Jagalah kepercayaan (trust) rakyat. Rakyatlah nanti yang akan membela pers sehingga pers akan terus bisa bertahan (survive).

Baca Juga:  Pemilu dan Tanggung Jawab Politik Korporasi

Meski saat ini media sedang “goyang” dengan finansial, tetap jugalah memuat berita yang kritis, membela kepentingan masyarakat. Jangan melacurkan media dengan banyak berita “asal bapak senang”. Rakyat sudah kritis saat ini. Rakyat sudah cerdas. Rakyat sudah tahu, mana media yang membodohi masyarakat.

Teknologi kini sudah sangat massif. Di sini, peran media lokal harus cerdas. Jangan menunggu Tiktoker Bima pula yang menyuarakan jalan rusak di Sumbar. Wartawan lokal harus kerja keras dalam hal ini. Ya begitulah tantangannya saat ini, melawan monster yang namanya teknologi; yang terus menggerus bisnis media, khususnya media lokal.

Kalau isi beritanya biasa-biasa saja, lebih banyak berita seremonial, ya bagaimana menarik orang untuk membaca koran. Begitupula dengan media elektronik. Di sinilah peran wartawan untuk menyajikan berita mendalam (in-depth news), sebuah skill yang tidak dimiliki wartawan netizen ataupun konten kreator website, IG, dan Facebook.

Ini pula lah yang saya tekankan kepada mahasiswa, jika suatu saat nanti mereka bekerja di industri media, selepas jadi sarjana. Karena saya masih meyakini, jika media bisa membuat diferensiasi konten secara konsisten, pasti akan bisa survive.

Itu benar yang diharapkan masyarakat. Bagaimana mereka bisa mendapat informasi yang lengkap, ulasan yang mendalam, argumen berita yang bisa diadu secara cover both side, dan hal menarik di balik peristiwa (behind cover news). Agaknya, hal ini yang kurang diperdulikan media atau wartawan saat ini.

Sekarang, tak ada waktu lagi. Kita harus bisa berkawan dengan teknologi. Pada hakikatnya, teknologi diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Di sini, kita harus cerdas untuk memanfaatkannya. Wartawan bisa mendapat referensi yang banyak untuk memperkaya tulisannya.

Dengan cara mengoprek segala informasi sebelum turun ke lapangan. Sama halnya dengan akademisi. Dengan teknologi chat GPT plus channel youtube yang saat ini sudah semakin gampang untuk diakses, menjadi sumber referensi untuk menulis jurnal atau karya ilmiah yang semakin berkualitas.

Demikian juga dengan penelitian, pun juga akan semakin mudah, karena referensi studi literatur sudah mudah untuk diakses. Prinsipnya, profesi akademisi ini banyak kemiripan dengan profesi wartawan. Sama-sama menulis. Butuh banyak referensi.

Karenanya, tak heran, banyak wartawan yang pindah pengabdian menjadi seorang akademisi. Termasuk saya, yang dulunya pernah bekerja di Riau Pos Grup, grup Padang Ekspres. Yuk kita sama-sama berjuang untuk membangun negeri ini, dengan mencerdaskan masyarakat. (Elva Ronaning Roem, Dosen Ilmu Komunikasi Unand)