Prof. Dr. Maidir Harun, MA, Maha Guru Peta Sejarah Islam

42
Prof. Dr. Maidir Harun, MA, Maha Guru Peta Sejarah Islam.
Oleh: Dr. Abdullah Khusairi, MA
Dosen Pemikiran Islam di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.

“Pergi ke Lubuk Alung, pagi nanti. 
Cari ibu Prof Maidir. Saya siapkan untuk 
box kaki halaman utama untuk terbitan lusa 
dan dikirim ke Jawa Pos. Wajib.”

September 1995, bulan terasa cerah bagi seorang bocah yang sudah duduk di bangku kuliah. Ia anak seorang petani, yang berjarak 478 Km dari kelas tempat ia sedang mendengar kuliah dari seorang dosen.

Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) baru saja dimulai. Pertemuan pertama, menguraikan peta jalan sejarah Islam. Dimulai dari makna sejarah, serta duduk perkara sebuah peristiwa disebut sejarah. Ini kuliah yang berkesan, duduk manis mendengar guru memberi ilmu. Bukan guru biasa. Ia dengan sederhana bisa menggambarkan sebuah peta, serta menguraikan kisah-kisah yang tiada pernah habis, hingga waktu kuliah usai.

Dosen itu bernama Dr. Maidir Harun, MA. Murah senyum. Suka diskusi. Ketika ia memulai kuliah, kelas segera diam. Suaranya bisa menekan suasana, materinya membuat orang harus hening. Hampir tak ada yang luput dicatat, diingat, setiap kuliah dengannya. Tak lupa, setiap penjelasan itu akan memancing kita untuk mengembara dari buku ke buku sejarah, menjadi gila sendiri tenggelam dalam bacaan demi bacaan. Begitulah, seorang guru telah menyuntik semangat mencari ilmu pengetahuan.

Dua kalimat di atas hampir tak berjeda ditulis, setelah menamatkan draft buku otobiografi yang dikirim senior, Dr. Danil Mahmud Chaniago, M.Si. Mengalir saja ingatan di kepala, tentang pertemuan pertama dengan seorang guru di kelas. Pertemuan pertama yang berkesan tentunya, sehingga menemukan dua kalimat di atas. Satu lagi, hari itu, saya mengenal asisten Prof. Maidir, yang Nelmawarni S. Ag., M Hum, Ph D. Waktu itu, Prof Maidir belum profesor, sedangkan Uni Nel, demikian kami memanggilnya belum juga Ph.D.

Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) bersama Prof. Maidir itu membuka peta jalan kian jelas bagi saya yang baru sepotong-sepotong memahami sejarah di bangku Madrasyah Aliyah Negeri (MAN). Kuliah itu pula menggiri saya bertemu dengan buku Sejarah Peradaban Islam yang ditulis Badri Yatim, Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad Saw, yang ditulis Muhammad Husien Haikal. Ditambah dengan buku-buku sejarah Islam lainnya.

Duo Lubuak Aluang

Digariskan untuk berguru kepada Prof Maidir dari Lubuk Alung ternyata tak cukup. Ada satu orang lagi dari daerah ini, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. Keduanya telah memberi pemahaman yang jelas, sejarah adalah ibu dari semua ilmu. Tak ada ilmu humaniora yang tak membutuh sejarah dan ilmu sejarah. Saya selalu antusias kuliah dengan kedua profesor yang berasal dari satu daerah Padang Pariaman ini. Buku Azyumardi Azra yang pertama, Jaringan Ulama Awal Abad XIX dicetak pertama pada tahun 1994, inilah buku pertama yang saya miliki dan tuntas menamatkannya.

Filsafat itu bapak semua ilmu, sejarah itu ibu semua ilmu, ujar Prof. Azyumardi Azra, dalam kelas kuliah Sejarah Intelektual Muslim, pada suatu hari ketika kuliah di Program Magister Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang. Hal-hal baru setelah itu, banyak saya dapatkan dari Prof Azra ketika mengikuti kuliahnya di UIN Syarif Hidayatullah (2016-2020). Bahkan dengan bangga mengajukan beliau sebagai penguji utama Disertasi Doktor yang saya tulis.

Dua profesor dari Lubuak Aluang senyatanya telah menjadi maha guru yang tak mungkin terbalaskan atas ilmu kebajikan yang diberikannya. Salam hormat untuk keduanya.

“Kerajaan-kerajaan besar Islam runtuh karena berbagai faktor. Hingga tumbuh lagi menjadi negara-negara kecil, bahkan dipimpin para bekas budak,” ungkap Prof Maidir, kali ini di kelas Magister, Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, tahun 2006-2008. Waktu itu, saya yang mendapat jatah menuliskan makalah Kekhalifahan Fatimiyah (910 – 1171 M).

Itulah dua kelas resmi bertemu dengan Prof. Maidir Harun. Selebihnya, saya bertemu dengan kondisi nonformal. Sewaktu mahasiswa, aktif di Pers Mahasiswa, Suara Kampus (1995-2000), sering ikut acara dan meliput kegiatannya. Kami juga pernah demonstrasi, bahkan menjelang wisuda menggugat rektor yang dijabatnya. Perkara sepele, jubah dan toga yang sudah tak layak pakai! Sebagai mantan aktivis, Prof. Maidir sangat santai menghadapi kami dan memberi jalan keluar.

Begitu banyak profesor senior yang memberi jalan terang kepada saya, selain Prof. Maidir Harun, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pencerahan-pencerahan wawasan keilmuan maupun wawasan umum, baik di kelas maupun di kantin.

Sebelum ini, saya tak sempat menuliskannya. Salah seorang profesor yang baru saja purna bakti itu adalah Prof. Dr. Saifullah, MA. Juga guru besar di Fakultas Adab dan Humaniora. Kelas yang saya ikuti dengan Prof Saifullah adalah Sejarah Pemikiran Islam. Selebihnya, kami sering terlibat diskusi dan debat kusir di berbagai kesempatan.

Baca Juga:  Terminologi Puasa Dalam Konteks Kekinian

Selain itu, satu lagi senior Suara Kampus, Dr. Yulizal Yunus, M.Si, juga di fakultas ini. Mereka tak pernah berhenti memberi ilmu, itu tak ternilai harganya. Hari ini, saya baru sadar, banyak berguru di luar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Fakultas tempat saya tumbuh, dibesarkan, lalu kembali mengabdi setelah 10 tahun sebagai orang media.

Sementara di media, saya berguru, memiliki bos yang juga Padang Pariaman. Mereka adalah, Wiztian Yoetri dan Zaili Asril (alm). Nama terakhir adalah teman Yulizal Yunus di Suara Kampus. Jadi, selain Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, saya juga berguru ke tokoh-tokoh Padang Pariaman.

“Hasil penelitian Khusairi masih terasa jurnalistiknya,” kritik Prof Maidir suatu hari di majelis pembahasan hasil penelitian. Saya maklum, harus mengedit hasil penelitian yang telah ditelaah oleh Prof Maidir. Maklum, hasil penelitian yang serba cepat selesai itu harus diketengahkan segera.

Sejarah Ekslusif

Saya termasuk yang antusias membaca biografi. Hal ini dulunya, arahan dan kecenderungan akademik, dimana ada kewajiban untuk membaca riwayat hidup seorang tokoh cendekiawan muslim dari berbagai negara. Sudah begitu banyak yang ditamatkan, ketika diberikan draft buku yang judul sementaranya “Lika-Liku Kehidupan Seorang Anak Petani Lubuak Aluang, yang ditulis Prof. Maidir, saya segera menamatkannya, antusias.

Entah mengapa, saya seperti membaca nasib sendiri. Ada perjuangan yang panjang dari bawah hingga sampai di puncak dunia akademik, jabatan, juga pikiran-pikiran yang dihasilkan. Membaca draft buku itu, seperti hendak menuliskan masa depan sendiri, yang masih perlu selangkah lagi untuk jadi profesor. Impian baru bagi semua doktor yang baru, tentunya.

Kisah paling menarik, saya juga terlibat karenanya, adalah perjuangan selamat keluar dari badan pesawat yang tidak sempurna berlabuh, di Solo. Belasan korban nyawa atas peristiwa itu, Prof. Maidir bagian dari penumpang pesawat naas itu.

“Pergi ke Lubuk Alung, pagi nanti, cari ibu Prof Maidir. Saya siapkan untuk box kaki terbit untuk besok. Wajib.

“Siap bos,” jawab Arzil, koresponden Harian Pagi Padang Ekspres untuk wilayah Kota Pariaman dan Padangpariaman.

Malam itu, stasiun televise ANTV yang masih digawangi Karni Ilyas sedang naik daun sebagai televisi berita, menayangkan gambar ekslusive dari seorang penumpang yang tiada lain adalah reporternya. Pada gambar itu, riuh raung serena dan suara penumpang pesawat sedang keluar dari pintu darurat. Badan pesawat tampak rebah ke kiri di atas rerumputan yang ada batu nisan. Salah seorang penumpang tampak jelas di televise itu, Prof. Maidir! Saya bergidik, reportase horor itu begitu cepat berlalu. Setelah itu ditayang  berulang-ulang saban malam, sebelum ada gambar baru dari para reporter di Solo.

Saya berada di lantai III Redaksi Harian Pagi Padang Ekspres Jl. Proklamasi Kota Padang, menjalankan tugas rutin sebagai Koordinator Liputan. Breaking News ANTV itu menyentak ke kepala. Seperti biasa, teori nilai berita (news value theory) mulai bekerja, kali ini proximity (kedekatan). Prof. Maidir adalah rektor, putra Lubuak Aluang, dia adalah prominent figure (tokoh/figur). Layak dan harus diberitakan.

Refleks angkat telepon menugaskan reporter. Dua hari setelah itu, feature reporter bernama Arzil dimuat pada halaman utama Padang Ekspres bagian bawah (box kaki). Juga di koran-koran di bawah Jawa Pos Groups seluruh Indonesia. Judulnya, “Keluarga Rektor IAIN di Lubuk Alung: Baok Anak Ambo Pulang!” Arzil menuliskan rinci daerah kelahiran Prof. Maidir, serta keluarganya disebutkan sebagai sumber laporan berbentuk feature tersebut. Tak ketinggalan, Civitas Akademika IAIN Imam Bonjol tak luput pula menjadi sumber berita karena rektornya, Prof. Maidir, salah seorang korban selamat dalam tragedy terjungkalnya Lion Air. Ini sejarah ekslusive bagi seorang maha guru sejarah, harus ditulis!

Selama Prof Maidir menjadi rektor, saya menjadi wartawan Padang Ekspres. Berbagai kutipan pernyataan baik secara resmi sebagai rektor maupun sebagai pemateri seminar, selalu dikutip dan dimuat. Sesekali saya menyambangi ke ruangnya untuk wawancara. Kami tak begitu dekat, tetapi ia tahu saya adalah satu dari sekian banyak orang yang pernah menuntut ilmu kepadanya.

Sebagai seorang murid, kepada guru harus hormat. Saya kadang-kadang lebih dari itu, mengidolakannya. Begitu banyak professor yang saya idolakan, salah satunya adalah Prof. Dr. Maidir Harun, MA. Maha guru yang telah meletakkan format dan peta jalan sejarah Islam dalam kepala saya. Terima kasih, banyak prof.

Hari ini, Minggu (26/2/2023) Prof Maidir menghadap keharibaanNya, almarhum dilepas sejawat di kampus Lubuk Lintah, setelah menghembuskan nafas terakhir pukul 09.19 WIB di RSUP M Djamil.

Hari ini, Minggu (26/2/2023) Prof Maidir menghadap keharibaanNya, almarhum dilepas sejawat di kampus Lubuk Lintah, setelah menghembuskan nafas terakhir pukul 09.19 WIB di RSUP M Djamil.(*)