Pawang Hujan

Feri Arlius Dekan Fateta Unand / Ketua HKTI Sumbar

Salah satu berita terviral sepekan terakhir adalah soal pawang hujan di arena MotoGP Mandalika. Aksi pawang hujan Rara Istiati Wulandari di tengah sirkuit Mandalika sangat menarik perhatian. Banyak yang memberikan apresiasi dengan berbagai sudut pandang, dan banyak pula yang memberikan hujatan.

Terlepas dari pro-kontra soal pawang hujan, timbul pertanyaan apakah mungkin hujan dapat dicegah atau diturunkan sesuai keinginan manusia. Dalam Islam, ada shalat dan doa yang dipanjatkan untuk menurunkan hujan.

Doa meminta hujan ini dipanjatkan beberapa kali oleh Rasulullah Muhammad SAW dan sahabat nabi. Hadits yang diriwayatkan Bukhari juga menyampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW juga pernah merapalkan doa agar hujan menjadi reda atau berhenti.

Lalu, di zaman Teknologi 4.0 sekarang ini apakah ada teknologi yang dapat menurunkan hujan atau mencegah terjadinya hujan? Jawabannya: ADA.

Bahkan teknologi untuk menurunkan atau mencegah turunnya hujan yang saat ini dikenal dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah ada sejak tahun 1946, di mana Vincent Schaefer dan Irving Langmuir melakukan serangkaian uji coba untuk membuat hujan buatan di Observatorium Mount Washington di New Hampshire, Amerika.

Di Indonesia, teknologi hujan buatan juga sudah dilakukan sejak tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto, yang difasilitasi oleh Prof Dr Ing BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Hujan buatan ini dilakukan untuk untuk meningkatkan intensitas curah hujan, pengisian waduk irigasi teknis dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), mengantisipasi bencana penyimpangan iklim (kekeringan dan banjir).

Dan sampai sekarang masih sering digunakan untuk mencegah kebakaran hutan dan pencegahan banjir di DKI Jakarta, serta minggu lalu, tim TNI AU dan Badan Riset dan Informasi Nasional (BRIN) menggelar operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di kawasan Sirkuit Mandalika , NTB, Jumat (18/3/2022).

Bagaimanakah proses modifikasi cuaca tersebut? Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) adalah salah satu bentuk upaya manusia untuk memodifikasi cuaca dengan tujuan tertentu agar mendapatkan kondisi cuaca seperti yang diinginkan.

Disebut sebagai suatu teknologi karena memang aktivitas modifikasi cuaca pada dasarnya merupakan suatu aplikasi yang memerlukan sentuhan teknologi dalam prosesnya.

Hasil akhir dari upaya modifikasi cuaca tersebut umumnya adalah untuk meningkatkan intensitas curah hujan di suatu tempat (rain enhancement), meski untuk tujuan tertentu dapat juga dikondisikan sebaliknya, yaitu untuk menurunkan intensitas curah hujan di suatu lokasi tertentu (rain reduction).

Dalam konteks pemanasan global (global warming) yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim (climate change), TMC telah menjadi salah satu solusi yang bisa diandalkan untuk mereduksi kerugian yang dapat ditimbulkan oleh bencana yang disebabkan oleh faktor iklim dan cuaca.

Baca Juga:  Momentum Hari Tani Nasional, Saatnya Petani Berkembang dan Berdaya

Hujan buatan bisa terjadi dengan menaburkan zat glasiogenik seperti argentium iodida atau perak iodida. Penaburan bahan kimia tersebut dilakukan pada ketinggian 4.000 – 7.000 kaki dengan mempertimbangkan faktor arah angin dan kecepatan angin. Penaburan bahan juga dilakukan pada saat pagi hari karena biasanya awan hujan alami terjadi pada pagi hari.

Selain zat glasiogenik, juga bisa menggunakan bahan kimia lain eperti zat higroskopis seperti garam, CaCl2, dan Urea. Garam dan CaCl2 ditaburkan ke awan yang ada di langit dengan pesawat terbang.

Setelah ditaburkan, bahan kimia tersebut akan memengaruhi awan untuk berkondensasi dan membentuk awan yang lebih besar dan mempercepat terjadinya hujan.

Setelah garam atau CaC12 yang berhasil membuat awan berkondensasi, kemudian ditaburkan bubuk urea. Urea ini membantu dalam pembentukan awan besar dan berwarna abu-abu.

Setelah awan hujan terbentuk, larutan bahan kimia kemudian ditaburkan kembali. Larutan tersebut adalah air, urea, dan amonium nitrat. Larutan ini untuk mendorong awan hujan membentuk butir air, dan terjadilah hujan.

Efektifitas hujan buatan pada dasarnya dipengaruhi oleh: a) jika ketersediaan awan potensi hujan kurang/ relatif sedikit, maka jumlah hujan yang jatuh juga relatif kecil, dan b) Kondisi tiupan angin yang kencang dapat membawa hujan jatuh di luar daerah yang ditargetkan.

Dalam penerapannya, TMC dikenal 2 (dua) macam metode dalam hal cara penyemaian bahan semai ke dalam awan, yaitu metode dinamis yang menggunakan wahana pesawat terbang dan metode statis menggunakan sistem Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografik.

Kedua metode tersebut hanya dibedakan oleh wahananya saja, tetapi sama-sama bertujuan untuk melepaskan bahan semai yang bersifat higroskopik (menyerap air) ke dalam awan.

Jadi pada prinsipnya, TMC dapat membuat hujan buatan jika pada daerah tersebut terdapat awan yang sudah terbentuk secara alami yang mengandung cukup uap air dan kemudian ditaburkan bahan kimia / zat glasiogenik untuk terbentuknya hujan.

Sedangkan untuk mencegah terjadinya hujan di suatu tempat, seperti di Mandalika, maka awan yang mengandung uap air tersebut dicegah masuk ke daerah Mandalika dengan menaburkan bahan kimia / zat glasiogenik, sehingga hujan akan terjadi diluar areal Mandalika.

Lalu, ”pawang hujan” mana yang berhasil mengendalikan cuaca / hujan pada saat gelaran MotoGP Mandalika 2022 kemaren? Metafisika Rara Istiati Wulandari atau tim Teknologi Modifikasi Cuaca dari TNI AU-BRIN? (*)