Tidak hanya Jorok, Empati juga tak Punya

5050
Oleh Miko Kamal

Pengamat Tata Kelola Kota

Ahad, 26/3/2023, saya sengaja berbuka di Masjid Raya Sumatera Barat (MRSB). Layanan dari pengurus dan/atau relawan cukup memuaskan. Teh dan kopi disediakan, juga penganan kecil serupa bakwan atau tahu goreng untuk orang yang berbuka. Tempatnya di lantai 2. Di selasar belakang, luar areal shalat.

Sekira pukul 18.15, orang-orang sudah berkumpul, duduk berhadap-hadapan di atas plastik tipis. Cukup banyak jumlahnya. Perkiraan saya sekitar 200 orang.

Di depan setiap orang sudah tersedia segelas teh atau kopi hangat, air mineral dan penganan kecil. Saya dapat segelas teh hangat dan air mineral serta sepotong tahu goreng.

Jam menunjukkan pukul 18.30. Dari pengeras suara dalam masjid terdengar pengumuman waktu berbuka sudah masuk. Tak berapa lama setelahnya, muazin pun mengumandangkan azan. Serempak kami melepaskan puasa. Minuman dan makanan kecil di hadapan kami habis dalam waktu tidak terlalu lama.

Muazin mengumandangkan Iqamah. Satu per satu kami yang baru selesai berbuka bangkit dari tempat duduk. Gelas plastik bekas air mineral dan gelas kertas bekas teh serta plastik bekas pembungkus tahu goreng, saya tumpuk jadi satu. Semuanya saya masukkan ke dalam tong sampah yang ada di teras. Sebagian lainnya juga melakukan hal yang sama.

Dalam perjalanan dari tong sampah menuju tempat wudhu, saya lihat masih banyak gelas bekas air mineral dan teh serta bekas pembungkus makanan kecil berserakan di lantai. Orangnya sudah tidak ada. Mungkin sudah masuk masjid atau sedang berwudhu.

Saya berpartisipasi. Saya angkat sampah-sampah itu dan memasukkannya ke dalam tong sampah.

Dalam hati saya mengomel: Ini parah ni parah ni. Dari fakta itu, saya punya 2 tafsir. Pertama, perilaku hidup bersih kita memang sedang dalam masalah besar. Sebagian masyarakat kita terbiasa hidup jorok. Membuang atau meninggalkan sampah sembarangan di tempat umum adalah hal biasa saja.

Hal itu tidak hanya terjadi di MRSB. Di tempat lain juga. Ikutlah rapat di kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Anda akan melihat fakta yang sama: selesai rapat, sampah bekas minuman dan makanan ditinggalkannya begitu saja di atas meja rapat.

Baca Juga:  Tabungan Utsman

Kedua, krisis empati sedang berlangsung. Orang-orang yang tidak membereskan sampahnya setelah berbuka itu adalah orang yang dalam dirinya sedang berlangsung krisis empati. Mereka tidak menaruh empati sedikitpun kepada relawan yang melayani mereka.

Tidak terpikirkan oleh mereka bahwa mungkin saja para relawan dan petugas kebersihan Masjid rela menunda membatalkan puasa mereka demi melayani mereka. Padahal, dengan memasukkan sampah bekas makanan dan minuman mereka sendiri ke tong sampah berarti mereka telah ikut meringankan beban para relawan dan petugas kebersihan.

Dua hal itu sangat penting dalam kehidupan. Keduanya boleh dianggap hal kecil. Tapi, harus diingat bahwa peradaban sebuah bangsa diukur dari hal-hal kecil serupa kedua hal itu. Keduanya (kebersihan dan empati) dibentuk melalui pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal.

Pendidikan formal kadang lebih menentukan. Dalam praktik hidup, suara dan perintah guru sering lebih didengar dan diikuti oleh anak-anak. Sayangnya, pendidikan kita tidak serius mengurus dua hal ini. Pendidikan kita lebih mendewakan kognitif. Guru, kepala dinas, kepala daerah sampai kepala negara terlalu fokus dan bangga dengan piala atau medali olimpiade-piadean.

Hidung mereka naik ke atas jika ada anak-anak didik mereka yang berhasil mendapatkan nilai tinggi mata pelajaran fisika atau matematika. Anak-anak sekolah yang membuang sampah sembarangan dibiarkan saja, tidak dianggap sebagai bahaya serius. Anak-anak tidak dilatih serius cara hidup bersih dan menebalkan empati.

Kita sudah hampir 78 tahun merdeka. Sudah selama itu, seharusnya para pengurus negara ini malu melihat fakta jorok dan krisis empati masyarakat yang diurusnya. Mereka harus malu besar kepada WR Soepratman yang sejak tahun 1928 sudah mengingatkan pengurus negara untuk mendahulukan pembangunan jiwa ketimbang pembangunan badan. Kata WR Soepratman dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya: “…Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya.(*)