SETELAH blusukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Kupang penuh hangat dan berkesan Kamis (24/3) lalu, tetiba politikus PDIP tersebut marah-marah di Bali esoknya. Dia meluapkan kejengkelannya di hadapan jajaran menteri dan sejumlah kepala daerah dalam acara pengarahan Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia (Jumat, 25/3/2022).
Pasalnya, masih banyak kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang dalam pengadaan barang dan jasa ”doyan” impor. Yang paling disorot publik ketika Presiden Jokowi ”mengancam” akan me-reshuffle menteri yang ”hobi” impor.
Pada 18 Juni 2020 presiden juga pernah menunjukkan kegeramannya dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta. Dia menyebut menterinya tidak memiliki sense of crisis di masa pandemi karena pencairan anggaran sejumlah kementerian terlambat.
Enam bulan setelahnya, Jokowi pun me-reshuffle menterinya. Lalu, apakah kemarahannya di Bali kemarin menjadi sinyal bakal ada reshuffle Kabinet Indonesia Maju? Benarkah nama-nama menteri yang disentil saat Jokowi marah di Bali itu akan di-reshuffle?
Isu reshuffle sepoi-sepoi berembus sejak beredar kabar Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bertemu Presiden Jokowi awal Maret 2022. Dari mulut politikus PKB Lukman Hakim dikatakan, perombakan komposisi menteri akan berlangsung akhir Maret di mana PAN konon akan mendapat jatah ”satu setengah” (satu menteri dan satu wakil menteri).
Publik menebak reshuffle bakal berlangsung pada hari Rabu Pon (23/3/2022) sebagaimana ”tradisi” dua kali reshuffle sebelumnya. Namun, hingga hari H berlalu, tak ada tanda-tanda perombakan kabinet. Politik ”gas-rem” reshuffle tampaknya sedang dimainkan presiden untuk membaca harapan publik dan menakar dukungan politik terhadap perombakan menteri.
Sebenarnya isu kocok ulang kabinet tak perlu dikapitalisasi sedemikian hebohnya mengingat hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak prerogatif untuk menempatkan orang-orang terbaiknya dalam konteks zakenkabinet.
Para menteri yang membantu presiden itu adalah figur atau sosok yang memperoleh afirmasi administrasi kepemerintahan, baik secara profesionalisme, integritas, maupun politis dari presiden.
Namun, mengingat politik identik dengan kontestasi sumber daya, maka apa pun agenda politik dalam sebuah sistem politik yang terbuka, ia selalu mengundang tarik-menarik kepentingan antaraktor (elite).
Apalagi, konstruksi kabinet selama ini dibangun di atas dukungan dari beberapa parpol di pemilu sebelumnya yang berakibat pada adanya kesepakatan politik untuk membagi-bagi kekuasaan negara lewat jabatan-jabatan di kabinet maupun lembaga setingkat kementerian (Asshiddiqie, 2011).
Dukungan parpol di pemilu itulah yang akan menjadi alat tawar-menawar (bargaining chip) dalam alokasi kursi kabinet. Tak heran, setiap ada isu bongkar pasang kabinet, panggung politik seakan tegang dan riuh, baik dari internal maupun luar kabinet.
Misalnya, sewaktu isu reshuffle berembus pada September 2021 oleh relawan Jokowi Mania, para menteri mulai sibuk melakukan pencitraan dengan berkampanye untuk mendapat simpatik publik. Sehingga melupakan tugasnya, khususnya dalam penanganan pandemi dan krisis ekonomi.
Kini ada semacam ”ancaman” dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin bahwa jika reshuffle benar terjadi saat ini dan kursi PKB diganggu, akan ada perang di internal koalisi pemerintah seperti Rusia-Ukraina di Eropa (Jawa Pos.com 24/3).
Terlepas apakah ”ancaman” itu benar atau hanya ”gertak sambal” politik, wacana reshuffle di negara kita kerap menjadi komoditas dan perang kalkulasi politik untuk menunjukkan kekuatan (tawar-menawar) dan gengsi politik para elite yang pada ujungnya justru menimbulkan kegaduhan dan hanya menguntungkan elite (partai) politik tertentu. Itu sebabnya, produk reshuffle kerap mereproduksi kerja-kerja menteri yang tak sejalan dengan visi presiden.
Akumulasi Kemarahan
Kemarahan Jokowi kepada para menteri kemarin seolah merupakan akumulasi lemahnya kedisiplinan fungsional para pembantunya dalam bekerja menerjemahkan keinginan presiden. Berkali-kali Jokowi jengkel kepada menterinya terkait mimpi The Next Indonesia.
Mulai birokrasi yang tidak ramah investor (20/10/2019), masih banyaknya impor minyak ke Indonesia oleh mafia migas (16/12/2019), menteri yang tidak peka terhadap krisis akibat pandemi seperti seretnya serapan anggaran, belum membuat prioritas dan menyusun DIPA (18/6/2020), soal kualitas perencanaan program tiap kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah yang masih belum jelas (26/5/2021), hingga ruwetnya birokrasi di BUMN dan Pertamina (20/11/2021).
Katz dan Kahn (dalam Harmon & Mayer, 2014) menegaskan, sebuah tim kerja bisa langgeng selama anggotanya memberikan input positif dan adaptif terhadap lingkungan. Sebaliknya, dalam pola kerja tim yang politis, nilai komitmen dan penyangkalan diri (self abnegation) anggota tim untuk loyal terhadap garis kepentingan publik akan menjadi lemah.
Dan semakin parah jika moralitas personal dalam tim gagal mengalahkan ”moralitas posisional” yang pragmatis sebagaimana lazim terlihat pada perilaku beberapa oknum pembantu presiden belakangan.
Fenomena tersebut alih-alih mendongkrak kinerja kabinet, malah salah satunya bisa memunculkan yang disebut John Dryzek (2013) sebagai ”birokrasi egois” yang selalu berusaha ”memaksimumkan anggaran” untuk kepentingan diri maupun lingkaran di luar dirinya.
Masih ada menteri yang korupsi, tidak kompak dalam koordinasi kebijakan (khususnya di masa pandemi), bahkan sebagian memanfaatkan jabatan untuk pencitraan, hingga fenomena menteri suka membeli barang impor, merupakan sekelumit indikasi bahwa pragmatisme birokrasi sedang mengancam kabinet.
Namun, reshuffle jangan sekadar politis. Misalnya untuk mengakomodasi PAN di kabinet. Namun lebih didasarkan pada kebutuhan kompetensi kabinet untuk mengakselerasi kerja kementerian menyelesaikan persoalan krusial rakyat. Garis finis pemerintahan sudah dekat.
Pantang bagi presiden mengestafetkan kursi kabinet pada sosok medioker dan pragmatis. Perubahan komposisi menteri berbasis bagi-bagi kursi atau dagang sapi, sebagaimana pengalaman sebelumnya, justru akan membebani moral komitmen presiden. Terutama dalam mengambil sikap atau mengeksekusi kebijakan dengan tegas berbasis kepentingan rakyat. (*)