Pegiat Wisata dan Budaya
Budaya itu berawal dari perilaku individu atau suatu kelompok masyarakat yang terus menerus menjadi biasa (kebiasaan) hingga menjadi tradisi bahkan aturan baku dalam berkehidupan.
Tatanan hidup itu kemudian berkembang luas menjadi regulasi mengikat dalam bermasyarakat di suatu suku bangsa tertentu.
Seiring perkembangan zaman, aturan itu kemudian bergeser sesuai kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya para perintis atau nenek moyang, mulai menyadari, penjajahan paham, pengaruh dan ideologi identitas budaya sudah berlangsung.
Pengaruh luar yang cukup kuat, harus dibentengi dari prinsip mengakar rumput sebagai paham dan aturan yang disusun untuk melindungi kelompok mereka.
Mencegah agar penjajahan identitas tidak terjadi secara brutal dan frontal, mengikis atau menghilangkan identitas budaya yang dimiliki. Nenek moyang Minangkabau memperkuat dan menyusun strategi dengan Sistem Kekerabatan Matrilineal-nya. Mereka jelas menyadari, akan terjadi perbauran antar-bangsa luar dengan anak-cucu mereka nantinya.
Pergaulan antar-suku bangsa, dapat kita lihat dari catatan sejarah masuknya Bangsa Eropa melalui pelaut (perdagangan) Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis, Belanda. Bangsa Arab dan India. China pun ikut melakukan penjelajahan perdagangan di Pulau Andalas ini. Ada beragam pengaruh kuat dari budaya, bahkan religius dalam beragama.
Seiring pergaulan antar bangsa itu, Pemimpin Minangkabau di masa itu terus berbenah membentengi diri secara fisik dan mental. Memperkuat masyarakatnya dengan merancang aturan adat istiadat dan kebudayaan. Terus berbenah sehingga jangkauan aturan mengakar rumput dalam jangka waktu sangat panjang dan universal, sampai ke seluruh pelosok negeri Minangkabau.
Tatanan sosial menjangkau anak cucu mereka, agar kuat berkarakter. Melindungi dan mejaga dari pengikisan identitas budaya dari peradaban zaman yang berkembang.
Sejarah membuktikan, Islam diterima dengan baik sebagai paham baru yang sangat cocok diadopsi, bahkan menjadi keyakinan atau kepercayaan berketuhanan kepada Sang Pencipta. Meskipun ada yang mengklaim, bahwa Islam sudah jadi amalan dari Nenek Moyang Minangkabau berketurunan Iskandar Zulkarnain.
Gejolak atau benturan asimilasi atau akuturasi budaya tetap terjadi. Gejolak dengan Bangsa Eropa maupun Bangsa Arab dalam paham keagamaan turut berlangsung. Akhirnya, Islam berhasil sebagai ajaran paling diterima dan membuktikan sebagai ajaran menuju kebenaran Illahi.
Perpaduan kaum adat dan kaum ulama Islam melalui Sumpah Sati Marapalam. Melahirkan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Syarak Bakato, Adaik Mamakai. Sistem Surau salah satu strategi jitu melahirkan kaderisasi generasi penerus. Terbukti jebolan Pendidikan Surau itu, melahirkan Pahlawan Nasional seperti Buya Hamka dan Haji Agus Salim.
Membangkit Negeri Ulama Buya Hamka
Catatan sejarah yang ditulis Buya Hamka dalam buku “Ayahku” menjelaskan, kebangkitan Islam di Luhak Agam. Dirintis sejumlah ulama masa lalu. Salah satunya adalah Tuanku Pariaman atau Tuanku Nan Tuo. Salah satu murid Syekh Burhanuddin yang pindah ke Cangkiang dan mendirikan Tarikat Naqsyabandiyah berbasis surau. Mendapat minantu Syekh Abdulah Shaleh atau bergelar Syekh Guguk Katur (salah satu murid kesayangannya) saat menyiarkan Islam di Lareh Ampek Nagari (Sungai Batang, Tanjung Sani, Maninjau dan Bayur).
Dari Syekh Abdullah Saleh dan Siti Saerah (anak perempuan Syekh Tuanku Pariaman), lahir Syekh Muhammad Amrullah sebagai cikal-bakal pengganti ulama yang menyiarkan Islam di abad 19 tersebut.
Keturunan ulama besar itu berlanjut lahirnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, berlanjut pada Buya Hamka sendiri.
Penghargaan untuk Ulama Terdahulu
Prestasi berupa tropi yang diraih Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam baru-baru ini, sebatas prestise (bonus) perjuangan yang telah dirintis sebelumnya.
Prestasi itu adalah API (Anugerah Pesona Indonesia) 2021 pada Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka Juara II Kategori Situs Sejarah dan kedua ADWI (Anugerah Desa Wisata Indonesia) 2021 Juara V Katagori Daya Tarik Wisata.
Namun sesungguhnya, tujuan utama sebenarnya adalah membangkitan tatanan nilai. Norma sosial budaya masyarakat yang ada.
Kekuatan sejatinya terletak sejarah dan budaya masyarakat itu sendiri. Wisata adalah bonus dalam wadah peningkatan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat.
Potensi kearifan lokal berupa Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS, SBK) dengan filosofi “Alam Takambang Jadi Guru”, harus dibangkitkan. Seperti yang telah diurai dari catatan sejarah Sungai Batang di atas. Bahwa negeri ini tempat lahirnya ulama besar berpengaruh yang meninggalkan pembelajaran dan nilai-nilai religius pada masyarakat.
Perjuangan mereka harus dilanjutkan dengan mempelajari kembali ilmu yang telah mereka amalkan. Bahkan semestinya generasi saat ini, bisa lebih baik dari sebelumnya.
Lahirnya program “Akademisi Surau” dari dukungan Kemendikbudristek (rekomendasi Disdikbud Agam dan BPNB Prov. Sumbar) melalui rintisan Komunitas Pemuda Generasi Hamka (KPGH) Tanjung Raya binaan Camat Tanjung Raya, menjadi awal ujung tombak yang sesungguhnya.
Kemudian, lahir Daya Desa dan Daya Warga sebagai tim pelaksana tugas Program Akademisi Surau.
Pemerintah Nagari Sungai Batang, KAN, BAMUS, Bundo Kandung, dan Pemuda Nagari Sungai Batang harus lebih semangat dan bangkit. Ninik Mamak melalui wadah kerapatan Adat Nagari bersama MUNA (Musyawarah Ulama Nagari) mesti memperkuat perannya dalam tatanan sosial budaya masyarakat. Mengayomi semua pemuda jorong dan seluruh pemimpin adat dan agama dalam banagari dan bajorong.
Peran stategis tokoh masyarakat melalui wadah atau lembaga ini, harus mengakar rumput ke depan. Bangkitlah Sungai Batang! Bangkitlah Pemuda! Majulah Kampung Pahlawan Nasional Buya Hamka!.(*)