ADALAH pemandangan umum di ranah Minang, tak terkecuali Kota Padang, kalau lapau atau lepau salah satu tempat berinteraksi kaum lelaki. Tidak hanya tempat transaksi ekonomi tapi juga ruang berdialektika.
Selain itu lapau juga arena permainan. Seperti bermain domino atau kartu koa. Dari sisi tempat permainan, lapau kerap dicap negatif. Wajar saja tentunya. Sebab, tak jarang permainan tersebut berbalut perjudian.
Inilah yang membuat para istri atau ibu-ibu sering taburangsang dengan suami dan anak laki-lakinya yang suka duduk di lapau. Ke lapau pergi berjudi, habis uang, habis hari tak berketentuan. Kerja tidak. Kalaupun ada hasilnya pas-pasan. Dapat pagi habis petang.
Sebut saja namanya Angku. Usianya sekitar 50-an tahun. Bagi dia, lapau adalah tempat dia mencari nafkah. Sebab bermula dari sana lah dia dapat informasi tentang harga jual beli mobil second. Sekaligus siapa yang akan menjual dan siapa yang mau membeli.
Bahkan transaksi kerap terjadi di lapau langganannya. Ya, orang-orang menyebutnya tukang pakang. Fungsi kedua lapau bagi Angku adalah arena bermain. Di sela sela menunggu info jual beli mobil bekas, ia mengisi dengan bermain koa.
Angku sangat hobi dengan permainan ini. Dan dia cukup menguasai permainan tersebut. Bahkan beberapa orang yang duduk di lapau itu pandai berkoa karena ditunjuk ajar oleh Angku.
Namun, sejak sebulan terakhir, kalau ke lapau, lelaki beruban ini hanya sekadar minum kopi agak sejam, dua jam. Jelang Magrib dia pulang. Kalau dulu, dia mau main hingga larut malam. Ada juga yang mau mengajaknya, pantang dia tolak. Apalagi kalau dia terus terusan menang.
Sebenarnya sudah cerita umum bagi pengunjung lapau Adang, tentang perubahan Angku ini. Kisah dia sering jadi lelucon di warung di simpang tiga itu. Serta jadi bahan cimeeh pula untuk yang menolak diajak bermain.
“Lah… lah, main wak lai!” ajak seseorang kepada tiga orang kawannya. “Karateh rang kadai,” sambungnya.
Namun salah seorang dari mereka, menolak ajakan tersebut. “Sadang ndak mood, da. Lanjut lah,” katanya.
Bagi-bagi orang-orang di kadai, ini jawab yang tak bisa diterima. Tidak masuk akal. Dan cimeeh pun berlayang kepada Tayap yang menolak ajakan tersebut.
“Lah samo lo jo Angku mah da. Takuik jo bini lo gak e ko mah,” sebut Kamek.
“Iyo gak e, kawan. Kok lai ditalepon sa e manyuruah pulang, jadi juo lah. Ko indak. Kanai japuik. Kanai garetak lo,” timpal Kaliang. “Nan aden yo ndak talok dibituan do sanak,” ucap Ujang, sembari tertawa dengan yang lainnya.
Ya, kisah Angku “gantung kertas” memang tak lepas dari istrinya. Enam bulan sebelum berhenti, Ante, begitu orang orang memanggilnya, menjemput Angku ke lapau saat hari sudah tengah malam.
Suasana lapau sedang ramai dengan gelak tawa saat itu. Namun tiba tiba saja diam seribu bahasa, ketika terdengar teriakan lantang Ante kepada Angku dari luar.
“Jan itu juo nan bapirik, da!” teriaknya. Tapi yang membuat orang orang lebih terkejut adalah batu yang ada di genggaman tangannya. “Ndak kapulang, da? Den ampok jo batu ko beko lai,” ancamnya.
Muka Angku pun memerah. Menahan malu sekaligus mungkin menahan amarah. Dia tak berkata kata. Langsung saja melangkah pulang. Ante mengikutinya di belakang. Cerita Ante menjemput Angku ke lapau sebenarnya bukan kali itu saja.
Sebelum juga sudah sering. Tapi kali itu sepertinya menjadi amarah puncaknya, sampai sampai mengancam dengan batu. Sejak kejadian tersebut, lama Angku tidak mampir ke lapau Adang.
Bila lewat, dia hanya sekadar menyapa sambil lalu saja. Nah baru sebulan ini dia mau duduk lagi di lapau itu. Tapi hanyak sekadar minum kopi. Jelang magrib pun dia telah pulang.
Kawan se-lapau-nya pun tak ada lagi yang mau mengajak bermain. Takut batu Ante yang tak bersayap itu benar-benar terbang ke dalam warung. (Ganda Cipta)