Harta terkadang membuat yang dekat menjadi menjauh, bahkan saudara menjadi musuh. Begitulah kondisi keluarga almarhum pak Joko (bukan nama sebenarnya) yang bertengkar satu sama lain gara-gara harta warisan. Seperti apa ceritanya?
Tersebutlah di Desa Angin-angin sebuah keluarga yang kaya raya. Bahkan saking kayanya, keluarga yang dikepalai pak Joko memiliki sebuah rumah mewah yang ditaksir senilai puluhan miliar rupiah.
Namun sayang, tiga hari yang lalu pak Joko meninggal dunia. Pak Joko wafat meninggalkan dua orang anak, Sinta dan Santi (bukan nama sebenarnya) dengan satu unit rumah mewahnya tersebut.
Pak Joko yang berharap anaknya rukun hidup bersama di rumah mewah yang ia bangun, tapi sayang di masa depan, rumah itulah yang membuat kedua adik kakak tersebut menjadi musuh.
Cerita dimulai satu bulan setelah pak Joko wafat. Sinta merupakan anak pertama. Jarak usia antara Sinta dan Santi tidak lah jauh, hanya tiga tahun. Kedua anak perempuan tersebut awalnya hidup rukun di dalam rumah mewah tersebut.
Namun suatu hari, akibat hasutan sana-sini, tali persaudaraan antara mereka putus. Waktu itu Sinta sedang berada di salah satu warung di dekat rumahnya. Di sana telah ramai berkumpul ibu-ibu kompleks.
“Wah ada Sinta. Kamu tambah cantik saja. Apalagi ditambah tinggal di istana, ish persis seperti putri raja,” celetuk salah seorang ibu-ibu.
“Iya, apalagi Sinta kan anak pertama, cocok sekali jadi putri mahkota. Biasanya sih kalau anak pertama itu berhak dapatkan warisan orangtua kalau meninggal. Jangan-jangan rumah mewah itu buat kamu ya,” timpal ibu satunya lagi.
Sinta hanya tersenyum mendengar celetukan tetangganya tersebut. Sesekali ia menjawab bahwasanya rumah mewah peninggalan ayahnya tersebut diperuntukkan untuk mereka berdua.
“Masa kalian selamanya tinggal bersama di satu rumah. Nanti kalau kalian masing-masing menikah dan punya anak, masa tinggal bersama. Atau sebelum meninggal pak Joko buat warisan nggak. Coba deh cek di rumah. Mana tahu rumah itu buat kamu,” kata ibu-ibu dengan santainya.
Kondisi serupa tak hanya dialami Sinta. Santi pun sering mendapat pertanyaan yang seperti itu. Lama-kelamaan mereka pun mulai percaya dengan apa yang tetangga mereka katakan. Setelah itu, mereka pun mulai untuk mengacak-acak kamar mendiang ayahnya untuk mencari surat wasiat.
Suatu ketika, ketika Santi sedang sibuk mencari benda-benda menyerupai surat di dalam kamar ayahnya, tiba-tiba saja Sinta masuk ke dalam kamar tersebut. “Sedang cari apa dek?,” tanya Sinta curiga.
“Eh lagi cari-cari foto lama ayah, kak. Rencana mau lihat foto-foto zaman dulu. Lagi kangen nih,” jawab Santi sesantai mungkin.
Melihat gelagat adiknya yang aneh, Sinta pun mulai curiga apakah sang adik sedang mencari surat wasiat ayahnya. “Mau cari foto atau cari surat wasiat ayah dek?,” balas Sinta.
Suasana yang tadinya adem, tiba-tiba berubah panas. Santi mulai menuduh kakaknya sengaja menyembunyikan surat wasiat ayah darinya. “Surat wasiat. Jangan-jangan benar ada surat wasiat ayah. Kenapa kakak ngga kasih tahu aku?,” tanya Santi.
“Surat wasiat apa, mana ada surat wasiat. Kamu jangan nuduh-nuduh sembarangan ya,” balas Sinta.
“Jangan bohong. Kalau memang tak ada, kenapa bawa-bawa soal surat wasiat tadi. Atau jangan-jangan surat wasiatnya memang ada, lalu kakak sembunyikan dari aku, karena kakak ingin menguasai rumah ini,” kata Santi emosi.
Mendengar tuduhan adiknya itu, Sinta pun terbawa emosi. Sejak saat itu pertengkaran pun tak bisa terhindarkan antara kedua saudara ini. Bahkan mereka membagi kedua rumah dengan bagian mereka masing-masing.
Tak sampai di situ, niat keduanya yang ingin menguasai rumah mewah tersebut seutuhnya, membuat persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan secara baik-baik, malah berujung ke pengadilan.
Sejak saat itu, kakak adik yang dulunya saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain, berubah menjadi musuh yang siap membunuh. Memang benar kata pepatah, harta sesungguhnya bisa membuat yang dekat menjadi menjauh. (Adetio Purtama)