Tukang ”Sarang Hari”, Animisme Bertarif Mahal

26
Mhd Nazir Fahmi

SETELAH ritual kendi nusantara, pawang hujan menjadi trending topic di negeri ini. Gelaran MotoGP Mandalika tempo hari, dihebohkan kehadiran perempuan membawa mangkuk berwarna emas. Sambil berjalan nyeker di lintasan basah karena hujan, si perempuan mengibas-ngibaskan tangan. Sesajian dibakar. Asap membubung. Si perempuan itu komat-kamit. Hujan reda.

Ada yang percaya. Ada yang ketawa dan ada yang biasa-biasa saja. Pawang hujan, beraksi. Warisan animisme dari negeri ini. Pawang hujan sendiri merupakan sebutan untuk seseorang yang dipercaya dapat mengendalikan hujan atau cuaca. Umumnya, pawang hujan bertugas mengendalikan cuaca dengan memindahkan awan penyebab hujan.

Di Ranah Minang, pawang hujan disebut tukang ”sarang hari.” Masih banyak yang mengaku punya ilmu ini. Di KTP, agamanya Islam. Praktik ini masih berlangsung hingga saat sekarang. Pawang hujan di Mandalika, refleksi eksistensi pawang-pawang hujan yang ada di Indonesia. Jasanya masih banyak dipakai. Dalam hajatan kecil sampai dunia internasional. Tarifnya juga terkadang mahal.

Jika pelakunya beragama Islam, otomatis agama menghukum syirik pelakunya. Jika, non-muslim pawang hujannya, otomatis yang menggunakan jasanya, juga dihukum syirik. Kalau pengguna jasanya muslim. Percaya dengan kemampuan pawang hujan, ya…otomatis berdosa. Semua daya dan kuasa, hanyalah milik Allah SWT.

Bagi yang percaya kemampuan pawang hujan, ada baiknya meninggalkan kepercayaan tersebut. Saya pernah berbincang dengan mantan pawang hujan. Dulu kali, sering melihat ritualnya. Saat dapat order memindahkan hujan. Atau, membuat hujan di suatu tempat.

Ada wadah berpasir. Ada kayu api. Kemenyan. Garam dan beberapa campuran lainnya. Ada juga tebu hitam. Selagi tebu tersebut dibenamkan dalam lubuk, sebuah sungai, maka akan terus hujan di lokasi yang dituju.

Pengakuannya, saat ritual dimulai, ketika mantra-mantra dirafal. Kelihatan olehnya setan-setan naik dari ufuk barat. Membantu kerja pawang hujan. Hujan pun akan berhenti atau turun di lokasi yang direncanakan. Kadang, gagal. Saling berlawanan antara satu pawang dengan yang lainnya. Yang satu minta dihentikan. Yang satu lagi minta terus hujan. Berperang mantralah antara sang tukang ”sarang hari.”

Semua kejadian, atas kuasa Allah. Jika pawang seakan-akan berhasil kendalikan hujan, itu tipu daya setan. Agar kita percaya kepada kemampuan manusia. Dibantu setan karena saling kerja sama. Akhirnya, berbuat dosa besar. Syirik. Menduakan Allah SWT dengan makhluk.

Aktivitas ”sarang hari”, kini dikemas dalam bahasa santun kearifan lokal. Padahal, Islam datang untuk memperbaiki semua ini. Orang tidak bertuhan, agar jadi beriman kepada Allah. Meninggalkan kepercayaan pada roh-roh halus atau supranatural. Menyembah hanya kepada Allah. Jika hujan turun, itulah rahmat. Salah satu waktu makbul berdoa adalah saat hujan turun.

Akhir zaman, ujian makin berat untuk kita. Setiap hari Islam dikerdilkan di nusantara ini. Diatur pemerintah hingga urusan remeh-temeh. Volume azan diatur. Ulama dibuat daftar radikal. Pengajian agama kadang dibubarkan. Giliran menampilkan kemusyrikan, didukung habis. Semoga kita dilindungi dari murka Allah SWT. (*)