Saiful Mujani: Dua Periode Sakral, Tak Ada Kegentingan untuk Amendemen UUD

52

Ilmuwan politik, Saiful Mujani, menyatakan bahwa amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menandai reformasi pasca jatuhnya Orde Baru terjadi karena alasan objektif bangsa kita sedang krisis. Pembatasan masa jabatan presiden dua periode dan masing-masing periode lima tahun adalah amanat reformasi.

Hal ini diungkapkan Saiful Mujani dalam program Bedah Politik bertajuk “Amandemen untuk Penundaan Pemilu” yang tayang melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 10 Maret 2022.

Video utuh pemaparan Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/V46xYTPEfRo

Pendiri SMRC ini menjelaskan bahwa proses amendemen konstitusi untuk membatasi masa kekuasaan presiden dibuat anggota DPR dan MPR berdasarkan aspirasi masyarakat yang mengalami krisis tahun 1998.

“Ada krisis yang besar ketika itu, terjadi kerusuhan, ekonomi hancur, dan seterusnya. Dan dianalisis, sumber kekacauan itu adalah masalah politik. Politik itu terkait dengan undang-undang dasar kita yang tidak membatasi kekuasaan,” jelas Saiful.

Saiful menegaskan “ketentuan dua periode itu sangat sakral. Karena itu amanat reformasi yang berdarah-darah. Itu adalah semacam terapi pada buruknya praktik politik kita pada masa Orde Baru,” imbuhnya.

Saiful mengingatkan bahwa Indonesia punya sejarah kekuasaan yang tidak dibatasi. Presiden Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup. Dia mengakhiri kekuasaan dengan sangat tragis, yakni dijatuhkan MPRS dan sakit. Hal ini kemudian diulang pada masa Orde Baru. Karena tidak terkontrol, Soeharto bahkan meninggal dalam status sebagai tersangka korupsi.

“Pengalaman sejarah itu penting ketika kita bicara untuk mengubah batasan-batasan kekuasaan tersebut, terutama pembatasan kekuasan eksekutif. Itu amanat reformasi yang sangat fundamental,” tegasnya.

Namun demikian, dia menambahkan bahwa adanya aspirasi untuk menambah masa berkuasa dari 5 tahun menjadi 8 tahun atau dari 2 periode menjadi 3 periode, sebagai sebuah gagasan di negara yang bebas ini, boleh. Yang penting, kata dia, alasannya apa?

“Yakinkan kita semua, rakyat, bahwa perubahan itu sangat penting dan mendesak,” kata Saiful.

Menurut Saiful, persoalannya bukan boleh atau tidak boleh, tapi alasannya apa? Karena kalau soal boleh dan tidak boleh, itu akan kembali ke masalah konstitusi. Konstitusi membatas kekuasaan eksekutif dua periode, lima tahun masing-masing periode.

Untuk membuat perubahan, konstitusi memberi wadah. Untuk menampung aspirasi perubahan masa kekuasaan, konstitusinya harus diubah dengan cara menambahkan pasal-pasal tertentu melalui amandemen.

Walaupun konstitusi memberi wadah, pertanyaannya, menurut Saiful, adalah apakah setiap saat kita boleh melakukan amendemen? Tidak bisa begitu, kata dia. Harus ada alasannya. Dalam sejarah, amendemen konstitusi Indonesia baru dilakukan setelah reformasi, dan dengan alasan obyektif yang kuat: krisis ekonomi dan politik hingga terjadi kerusuhan dan presiden Suharto mengundurkan diri.

“Bahkan memberlakukan kembali UUD 1945, itu dilakukan dengan dekrit. Dan itu bersamaan dengan matinya demokrasi Indonesia pada tahun 1959. Zaman Soeharto, kita tidak melakukan amendemen. Baru pada masa reformasi inilah kita melakukan amendemen karena alasan obyektif yang nyata tersebut,” tegasnya.

Tak Ada Kegentingan

Saat ini tidak ada situasi darurat atau kegentingan yang menjadi alasan bagi amendemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden.

Menurutnya, amendemen untuk mengubah batas dan periodeisasi masa berkuasa bisa dilakukan, asal syaratnya dipenuhi, yakni keadaan darurat atau genting. Pertanyaannya, apakah sekarang Indonesia dalam keadaan genting sehingga membutuhkan satu keberlangsungan dari eksekutif tanpa melalui pemilu?

Saiful menilai pandemi dan kondisi ekonomi sekarang tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan bahwa kita sedang dalam kondisi genting.

Baca Juga:  DPW PKS Aceh, Sulbar dan Kepri usul Amran Sulaiman Dampingi Anies Baswedan

“Sekarang ada pandemi, tapi pandemi ini bukan hanya di Indonesia, ini adalah gejala global dan sekarang sudah relatif membaik. Ekonomi juga rusak, tapi itu juga gejala global. Dan negara-negara lain di dunia tidak mengubah konstitusinya dengan alasan-alasan itu,” kata Saiful.

Lebih jauh, Ilmuwan politik ini menjelaskan bahwa amendemen bisa dilakukan asal syarat-syarat kegentingannya dipenuhi, misalnya dalam kondisi perang seperti Ukraina dan Rusia. Namun hal itu tidak terjadi di Indonesia. Memang kadang ada kondisi instabilitas, tapi, menurutnya, itu terjadi di tingkat lokal, bukan fenomena nasional.

Saiful melanjutkan bahwa syarat apakah boleh amendemen atau tidak tergantung pada bacaan sosiologis dan politik atas situasi krisis.

Saiful menjelaskan bahwa dalam beberapa hal, amendemen konstitusi itu seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu dikeluarkan sangat tergantung pada presiden atau pemerintah mendefinisikan situasi. Itu genting atau tidak genting. Misalnya seperti kasus pemilihan kepala daerah yang dibuat oleh DPR pada masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika itu, kata Saiful, disepakati agar pilkada dilakukan secara tidak langsung, dipilih oleh DPRD. Sudah menjadi undang-undang. Tapi Presiden Susilo Bambang-Yudhoyono menilai hal itu merusak fundamen demokrasi Indonesia, karena itu adalah bagian dari amanat reformasi. Lalu dia mengeluarkan Perppu untuk membatalkannya. Dan DPR menerima hingga Perppu itu menjadi undang-undang.

“Amendemen bisa dilakukan dengan terlebih dahulu mendefinisikan sendiri tingkat kegentingan itu,” tegasnya.

Dia menjelaskan bahwa secara prosedural, yang akan memutuskan tentang amendemen atau tidak adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

“Terlepas dari syarat kegentingannya, kalau dipaksakan, amendemen bisa saja terjadi,” kata Saiful.

Kalau mau melakukan amendemen, apakah itu mungkin atau tidak? Kekuatan peta politik di MPR seperti apa?

Saiful menjelaskan bahwa syarat normatif untuk melakukan amendemen sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar adalah harus diajukan secara tertulis dengan alasan oleh minimal 1/3 anggota MPR atau sebanyak 237 anggota MPR. Lalu disepakati (untuk dibahas) oleh minimal 2/3 anggota MPR. Dan keputusan amendemen harus didukung oleh mayoritas mutlak atau 50 persen plus 1 anggota MPR.

Menurutnya, berdasarkan pernyataan-pernyataan elite partai politik, yang mendukung penundaan pemilu sejauh ini adalah partai Golkar yang memiliki anggota sekitar 12 persen dari total populasi MPR, PKB 8,2 persen, dan PAN 6,2 persen. Jumlah keseluruhannya adalah 26,3 persen. Sementara yang menolak sejauh ini adalah PDIP, 18 persen populasi anggota MPR, Nasdem 8,3 persen, Demokrat 7,6 persen dan PKS 7 persen. Yang menolak kurang lebih 40,9 persen anggota MPR. Yang masih belum diketahui sikapnya adalah Gerindra dan PPP. Jika ditambah dengan anggota DPD, maka jumlah yang belum jelas sikapnya adalah 32,8 persen.

“Kalau pun Gerindra dan PPP setuju untuk melakukan proses amendemen, suara mereka juga belum cukup, karena untuk melakukan proses pembahasan amendemen harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR,” jelasnya.

Saiful menilai ada tendensi dari para pejabat terkait pemilu ingin agar pemilu tetap dilaksanakan pada 2024 sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.

“Kalau kita tanya pada para pejabat yang terkait pemilu, seperti Menkopolhukam, Menteri Dalam Negeri, atau Ketua DPR seperti Mbak Puan, mereka mengatakan bahwa pikiran kita adalah menyelenggarakan pemilu pada 2024 sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Itu artinya KPU harus segera bekerja,” lanjut Saiful.(rel/idr)