Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa tiga komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bukittinggi dalam sidang pemeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Sidang etik ini digelar di Kantor KPU Kota Bukittinggi.
Sidang ini dipimpin oleh Anggota DKPP Alfitra Salamm selaku Ketua Majelis beranggotakan Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Sumbar, yaitu Muhammad Mufti Syarfie (unsur masyarakat), dan Elly Yanti (unsur Bawaslu).
Para komisioner Bawaslu Kota Bukittinggi yang diperiksa adalah Ruzi Haryadi selaku ketua, lalu Asneliwarni, dan Eri Vatria sebagai anggota. Ketiganya menjadi Teradu dalam perkara nomor 77-PKE-DKPP/II/2021 dan 78-PKE-DKPP/II/2021.
Dua perkara tersebut memiliki pokok aduan yang sama, yaitu para Teradu diduga mengintimidasi dan menakut-nakuti para Pelapor dalam proses pemeriksaan pelaporan atas dugaan pelanggaran pidana. Para Teradu juga didalilkan menanyakan pilihan politik pada Pelapor dan berpendapat pihak Terlapor tidak bersalah.
Selain itu, Pengadu dari dua perkara ini juga mendalilkan Ketua Bawaslu Kota Bukittinggi, Ruzi Haryadi, bertetangga dengan Calon Wakil Walikota Bukittinggi Nomor Urut 2 sehingga terindikasi berpihak kepada calon tersebut.
Perkara Nomor 77-PKE-DKPP/II/2021 diadukan oleh Meri Syamsiwarni, yang memberikan kuasa kepada Rudi Harmonono dan Arif Rahman. Sedangkan Perkara Nomor 78-PKE-DKPP/II/2021 diadukan oleh Henny Susanti yang juga memberikan Kuasa kepada Rudi Harmonono.
Diwawancara Padang Ekspres usai persidangan, Ketua Bawaslu Bukittinggi Ruzi Haryadi menuturkan dalil aduan para Pengadu itu kabur, mengada-ada, dan tanpa bukti. ”Pengadu sendiri yaitu Meri dan Henny tidak paham dengan pokok aduan mereka, tidak membaca aduan tertulis yang mereka sampaikan kepada DKPP,” ujarnya.
Diceritakan Ruzi, ketika anggota Majelis DKPP menanyakan apakah benar bahwa dua orang pengadu ini mengadukan dirinya bertetangga dengan Calon Wakil Walikota Bukittinggi Nomor Urut 2, mereka menjawab tidak mengetahui tentang adanya aduan itu.
”Dan ketika mereka ditanya apakah mengetahui tempat tinggal Ketua Bawaslu Kota Bukittinggi, mereka menjawab tidak tahu. Jelas sekali bahwa pokok aduan tersebut bukan mereka yang membuat dan bukan keinginan mereka. Sehingga, pokok aduan tersebut akhirnya mereka cabut di dalam sidang DKPP atau di hadapan majelis pemeriksa DKPP,” jelasnya lagi.
Ruzi menuding, aduan para pengadu lebih didasarkan pada isu-isu atau ”kata orang, kata orang” tidak dengan dasar dan bukti yang kuat. ”Prinsipnya, Bawaslu sudah menjalankan tupoksi sebagai pengawas Pemilu dan melakukan penanganan pelanggaran secara profesional sesuai peraturan perundang-undangan berlaku dan memberikan kesempatan kepada semua pihak yang ingin melapor kepada Bawaslu, menerima baik semua pelapor dan memperlakukan semua pihak secara adil dalam proses penanganan perkara baik dari pihak pelapor, saksi-saksi, maupun terlapor,” tegasnya.
Ruzi meyakinkan, pihaknya tidak pernah mempraktikkan unsur tebang pilih, keberpihakan, ataupun perlakuan-perlakuan intimidasi seperti yang dituduhkan. Bawaslu tidak punya kepentingan terhadap siapapun kontestan yang akan memenangkan Pilkada di 2020 yang lalu dan berusaha untuk selalu bersikap independen, tidak partisan, dan memegang teguh prinsip-prinsip penyelenggara pemilu yang profesional dan berintegritas.
”Terkait dengan hasil keputusan dari sebuah penanganan pelanggaran tindak pidana pemilihan merupakan hasil penanganan bersama forum sentra Gakkumdu yang terdiri dari Bawaslu, penyidik polri dan Jaksa penuntut umum di mana semua kasus harus terbukti secara kuat dengan bukti yang cukup untuk bisa sampai ke persidangan pengadilan,” imbuhnya.
Atas dasar tiga komponen Gakkumdu itu, kata Ruzi, masing-masing institusi punya pendapat dalam menilai unsur pelanggaran pemilihan terpenuhi atau tidak. Katanya, keputusan pidana pemilihan merupakan keputusan bersama forum sentra Gakkumdu bukan hanya keputusan dari pihak Bawaslu. ”Hal itu yang mungkin belum banyak diketahui atau dipahami oleh masyarakat,” pungkasnya. (ryp)