Kelompok tani Arepikam Desa Nemnem Leleu, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai mendapatkan hasil panen gabah padi sebanyak 10 ton per tahun. Namun, jika dikalkulasikan setiap petani baru memperoleh hasil sebesar Rp 500 ribu per bulan dari hasil panen tersebut.
Kepala Desa Nemnem Leleu, Balsanus mengatakan, dari 60 hektare lahan sawah, baru 15 hektare yang bisa tergarap oleh Kelompok Tani Arepikam. Itu pun, kata dia, untuk pembukaan dan penanaman padi tersebut, dibantu oleh Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat tahun ini.
“Kita bersyukur, ada kepedulian dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat terhadap kelompok tani di Mentawai. Dimana, Kelompok Tani Arepikam menjadi salah satu pilot project di Desa Nemnemleleu,” katanya.
Dia mengatakan, sebelumnya Dinas Pertanian Provinsi Sumbar juga telah melakukan pelatihan kepada Kelompon Tani Arepikam. Dimana, desa juga ikut terlibat membantu pembuatan proposal kepada Dinas Pertanian Sumbar.
“Dengan ini kita di pemerintah desa sangat bangga dan senang, ada warga kita di masa pandemi Covid-19 ini mendapat bantuan. Kita berharap, agar kelompok tani terus mendapat pendampingan, guna meningkatkan kesejahteraan,” ujarnya.
Selama ini, ungkapnya, petani di Mentawai belum bisa dikatakan sejahtera. Sebab, dari hasil panen petani, per dua kali dalam setahun, rata-rata baru memperoleh Rp 500 ribu per bulan. Nah, hal ini mesti ada langkah atau upaya dari pemerintah untuk meningkatkan hasil pertanian masyarakat.
“Kelompok Tani Arepikam merupakan salah satu dari 8 kelompok tani di Desa Nemnemleleu yang masing-masing kelompok berjumlah 10 orang. Nah, dari 15 hektare lahan yang digarap, baru bisa menghasilkan gabah kering lebih kurang 10 ton atau masing-masing baru mendapatkan Rp 500 ribu per bulan,” ungkapnya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Mentawai, Hatisama Hura yang dihubungi wartawan, Jumat (9/10/2020) mengakui, pendapatan petani di Mentawai masih rendah, karena sangat tergantung dari cara bercocok tanam yang masih bersifat tradisional dan pengolahan lahan yang tidak maksimal.
“Hal ini menyebabkan pertumbuhan tidak maksimal yang berakibat produktivitas hasil pertanian mereka masih rendah. Dimana alat pengolahan lahan yang digunakan juga masih mengandalkan pengalaman bertani yang selama ini dan benih atau bibit yang mereka pergunakan, masih belum merata atau bibit unggul,” katanya. (rif)