Batang Arau Padang Tercemar Mikroplastik, Tuntut Tanggung Jawab Produsen

202

Tim Ekspedisi Sungai Nusantara bersama Walhi Sumbar berkampanye di kawasan Muara Sungai Batang Arau. Aksi tersebut dilakukan dengan membentangkan poster di dalam sungai yang berserakan sampah.

Poster itu di antaranya bertuliskan; Selamatkan Batang Arau dan Bebaskan Pantai Padang dari Polusi Mikroplastik.

“Parameter kualitas air di sungai Batang Arau telah melewati baku mutu, di antaranya Phospat 0,45 ppm yang telah melampaui hingga 300% dari baku mutu, Klorin Bebas 0,1 ppm dari baku mutu, dan Besi 0,39 ppm. Tingginya kadar Klorin dan Phospat bisa berasal dari aktifitas industri dan limbah domestik,” ungkap Koordinator Riset Walhi Sumbar Andre Bustamar di Batang Arau kepada awak media, Rabu (11/5/2022)

Selain mengukur kualitas air, pihaknya juga melakukan analisis untuk melihat kandungan mikroplastik di dalam air menggunakan mikroskop.

“Dari hasil analisis didapatkan aliran Batang Arau yang berada di Kelurahan Ganting mengandung 110 mikroplastik per 100 liter air dan di Muara Batang Arau mengandung 410 mikroplastik per 100 liter air,” beber Andre Bustamar.

Pihaknya juga melakukan Brand Audit atau audit merk sampah plastik sekali pakai yang menjadi pencemar di Sungai Batang Arau. “Hasil dari audit didapatkan bahwa sampah dari bingkisan Unilever (Rinso, Sunsilk, Pepsodent, Tresemme, Clear), Danone (AMDK Aqua), Coca Cola (Sprite dan Coca Cola), Mayora (Teh Pucuk), Indofood (Pop Mie dan Indomie) dan Wings Food (Ale-ale dan mie). Sampah plastik dari enam produsen ini mendominasi sampah plastik di Sungai Batang Arau,” jelasnya

Baca Juga:  Warga Parupuktabing Heboh, Ada Buaya Muara

Andre Bustamar menambahkan, kegiatan audit ini bertujuan mengetahui produsen sampah plastik yang banyak memberikan kontribusi sampah di perairan Padang. “Kita akan menuntut tanggung jawab produsen sampah plastik untuk terlibat memastikan produk yang mereka hasilkan tidak merusak lingkungan. Tanggung jawab tersebut biasa disebut Extended Producers Responsibility (EPR),” tegas Andre Bustamar.

Lebih lanjut Koordinator Riset Walhi Sumbar ini menjelaskan bahwa EPR secara umum digambarkan sebagai kebijakan pencegahan polusi dengan menuntut tanggung jawab hasil produksinya saat telah menjadi sampah.

“Sampah lain yang tidak bermerek jumlahnya 60% dibanding sampah bermerk seperti tas kresek, sedotan, tas plastik bening, Styrofoam, botol beling, tali rafiah, dan beragam jenis sandal,” tutup Andre. (*)