Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pesisir Selatan (Pessel) melalui Dinas Kesehatan dan jajaran puskesmas akan terus memaksimalkan pemantauan terhadap kasus gizi buruk. Upaya itu dilakukan agar ke depan tidak lagi ditemui kasus gizi buruk yang dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita).
Kepala Dinas Kesehatan Pessel, Syahrizal Antoni, mengatakan kemarin (7/2), penanganan dan pencegahan kasus balita gizi buruk merupakan salah satu prioritas yang mendapatkan perhatian serius di tahun 2023 ini.
“Agar gejala penderita gizi buruk bagi balita bisa terpantau secara dini, maka Pemkab Pessel melalui Dinas Kesehatan dan jajaran puskesmas akan terus memaksimalkan pemantauan di lapangan. Melalui upaya ini, maka ke depan tidak lagi ditemui balita Bawah Garis Merah (BGM) atau gizi buruk di daerah ini,” katanya.
Sama dengan tahun sebelumnya, dimana tahun 2023 ini Pessel melalui jajarannya memiliki komitmen yang tinggi untuk membebaskan daerah itu dari BGM dan balita yang mengalami kasus gizi buruk.
“Karena melalui pemantauan maksimal petugas kesehatan dan jajaran di semua puskesmas, maka bila ditemui ada balita yang mengalami kasus BGM, bisa segera dilakukan penanganan melalui unit kerja puskesmas pada masing-masing kecamatan,” katanya.
Disampaikannya, gizi bawah garis merah atau yang dikenal dengan BGM adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dalam waktu yang cukup lama.
“Agar kasus BGM ini tidak berlanjut hingga pada kasus gizi buruk, maka penanganan dengan segera akan dilakukan oleh petugas di lapangan, atau melalui puskesmas di masing-masing unit melalui penambahan asupan gizi tersebut,” ujarnya.
Dia menambahkan, sekarang jajaran puskesmas di setiap kecamatan diharuskan menggencarkan pemantauan terhadap balita BGM. Pemantauan tersebut juga merupakan bagian dari monitoring dan evaluasi dalam program pembinaan gizi.
“Data dan informasi yang dihasilkan dari pemantauan ini, akan dijadikan sebagai bahan dalam pengambilan keputusan, serta penyusunan rencana kegiatan pembinaan gizi balita,” ucapnya.
Walau sama-sama diketahui bahwa BGM bukanlah kasus gizi buruk tapi bila ini dibiarkan bisa berlanjut pada kasus gizi buruk. “Dari itu pemantauan secara maksimal perlu terus ditingkatkan hingga ke pelosok nagari sekalipun,” ucapnya.
Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Pessel, Mawardi Roska menjelaskan, penanganan terhadap balita gizi buruk memang harus dilakukan dengan serius.
“Karena masih cukup tingginya angka balita yang mengalami kasus gizi buruk sejak tiga tahun terakhir di daerah ini, bahkan pada 2022 lalu berada pada 25,2 persen, maka perlu dilakukan penanganan secara serius,” jelasnya.
Dia mengingatkan jika permasalahan gizi buruk tidak ditangani secara maksimal, maka dikhawatirkan daerah itu akan melahirkan sumber daya manusia yang lemah.
Permasalahan gizi buruk itu, kata Mawardi, sudah berakumulasi. Selain dipicu oleh lemahnya sumber daya orang tua memahami asupan gizi terhadap anak, hal lain yang mempengaruhi juga oleh faktor kemiskinan.
“Jadi, pemicu gizi buruk ini sudah berakumulasi. Orang tua juga terbatas informasinya soal asupan gizi, vitamin dan protein yang baik. Sayangnya, banyak diantara masyarakat yang juga tidak memaksimalkan kekayaan alam yang ada,” ucapnya.
Dia menambahkan, sebagian besar masyarakat di daerah itu memiliki lahan dan pekarangan luas. Namun tidak dimanfaatkan untuk menanam sumber-sumber vitamin, seperti sayur dan buah-buahan.
“Karena berbagai faktor itu, maka persoalan gizi buruk ini tidak saja menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan, tapi merupakan tanggung jawab bersama serta juga berbagai dinas terkait lainnya,” tambah Mawardi. (yon)