Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Kabupaten Sijunjung saat ini mencapai Rp 3.000 per kilogram. Namun harga pupuk juga melesat hingga menembus Rp 800 ribu per 50 kilogram dan stok langka.
Fenomena ini muncul menyusul terus meningkatnya produksi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sijunjung sejak dua bulan terakhir. Lahan-lahan garapan baru milik masyarakat bermunculan, dengan sasaran memanfaatkan lahan kosong, telantar, area hutan ulayat dan adat.
Tergantung kekuatan modal. Semakin besar modal, semakin luas pula lahan bisa digarap, dan peluang hasil panen pun kian besar.
Manager PT. Kemilau Permata Sawit (KPS) Muarotakung, Kecamatan Kamangbaru, Nofri menuturkan, harga TBS kelapa sawit saat ini berada pada posisi Rp 3.000 per kilogram. Mengalami kenaikan sekitar Rp 200 dari sebelumnya yang berada di kisaran Rp 2.800.
Harga sekarang, menurutnya adalah harga terbaik dalam beberapa dekade ini. Hingga menjadi angin segar bagi petani kelapa sawit. Bahkan diprediksi kenaikan harga ke depannya akan terus terjadi, mengingat permintaan minyak CPO terus naik.
Sebagai salah-satu perusahaan industri (pengolahan) minyak mentah CPO terbesar yang beroperasi Muarotakung, Kecamatan Kamangbaru, Kabupaten Sijunjung, PT.KPS menerapkan sistem perkebunan nonplasma, melainkan hanya mengandalkan bahan baku dari perkebunan milik masyarakat. Maka perusahaan ini berani memasang harga beli standar (tertinggi).
“Kita hanya mengandalkan produk baku hasil perkebunan rakyat, sebab itu senantiasa menerapkan harga beli tertinggi,” ujarnya.
Petani kelapa sawit di Nagari Muarotakung, Jumawardi, mengaku lega atas naiknya harga TBS kelapa sawit. Bila kondisi ini dapat terus dipertahankan maka ke depannya kehidupan masyarakat penggarap perkebunan kelapa sawit akan membaik.
Namun demikian Jumawardi sempat merasa gelisah, lantaran seiring dengan membaiknya harga kelapa sawit, justru harga pupuk nonbersubsidi juga ikut melambung mencapai Rp 800 ribu per zak (50 kg).
Akibatnya pencadangan biaya pupuk dari hasil panen mengalami peningkatan pula sekitar 30 persen. Pemberian pupuk harus dilakukan minimal tiap 6 bulan sekali.
“Ini menjadi persoalan, ketika harga kelapa sawit naik, justru pupuk naik pula. Harusnya pihak pemerintah mempertimbngkan soal ini,” ujarnya.
Itu pun stok pupuk di kios-kios dan agen penyalur kerap kosong. Hingga proses pemupukan tidak teratur/tertunda dari jadwal semestinya.
Di sisi lain masalah ini jelas terasa memberatkan bagi masyarakat yang memiliki lahan kecil, terbatas. Sebab biaya penggarapan lahan terbilang tinggi.
“Bagi masyarakat yang hanya punya lahan satu hingga dua hektare, tentu terasa memberatkan. Karena hasil panen tiap dua puluh hari sekali hanya bisa untuk memenuji kebutuhan hidup,” imbuhnya. (atn)